Agama dan Kepercayaan dari Kacamata Generasi Z


       Indonesia adalah negara yang tidak hanya memiliki beragam suku dan ras, tetapi juga beragam agama dan keyakinan. keragaman ini dapat menimbulkan persatuan maupun perpecahan. Sebagai generasi penerus bangsa, pemikiran kaum muda tentunya sangat berpengaruh terhadap masa depan Indonesia. Jadi, bagaimana sebenarnya pandangan generasi Z mengenai agama dan kepercayaan?

Indonesia merupakan negara hukum yang berketuhanan. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat dalam kuliah umum tentang Kedudukan MK dalam Penyelesaian Sengketa Pilkada di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, pada Rabu (07/10/2015), dilansir dari website Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Ini berarti seluruh penyelenggaraan negara harus berdasarkan sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Keadilan di Indonesia adalah keadilan berasaskan ketuhanan. Sama halnya dengan demokrasi Indonesia yang harus dijalani berdasarkan ketuhanan.

       Hampir semua masyarakat di Indonesia dari berbagai suku maupun ras adalah umat beragama, mulai dari kalangan tua hingga muda. Berbicara tentang kaum muda, sudah banyak pencapaian dan pandangan mereka yang diangkat oleh media. Misalnya dalam bidang pendidikan, bisnis-ekonomi, teknologi, kesehatan mental, dan lain sebagainya. Namun, belum banyak pihak yang menyorot generasi ini soal agama dan kepercayaan. Padahal, hasil sensus penduduk tahun 2020 yang dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa hampir 30% dari total penduduk Indonesia merupakan kaum muda generasi Z.

       Muty Retno Hasanatun, Lawrence Mario Wirawan, dan Carolyn Nathasa Dharmadhi adalah mahasiswa-mahasiswi yang masing-masing merupakan umat dari tiga agama paling besar di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, dan Katolik. Mereka mengaku, faktor-faktor eksternal seperti orangtua dan sekolah berperan besar dalam keputusan mereka untuk menganut agamanya masing-masing. Bagi Muty, agama yang ia anut adalah sebuah keturunan, tetapi bukan merupakan paksaan. Begitu juga Mario yang tumbuh besar di keluarga yang mengikuti ajaran Kristen. Ritual keagamaan sudah menjadi kebiasaan yang dibangun oleh orangtuanya sejak kecil. Sedangkan, Carolyn yang lahir dari pernikahan beda agama lebih banyak mengenali keragaman. Meski begitu, ia tidak dapat memungkiri pengaruh kepercayaan ibu dan sekolahnya dalam menjadikannya seorang Katolik.

       “Dulu aku sempet ikut papa, Buddhis. Sekolah minggunya di sana, di wihara. Ya, kayak anak-anak pada umumnya, lah, karena ngikutin ajaran orangtua. Orangtua itu, kan, pengen anaknya setidaknya milih salah satu. Tapi, akhirnya aku masuk Katolik karena mamaku bilang, ‘Ci, kenapa gak coba untuk belajar katekumen?’ Jujur, gue, kan, dari kecil sekolahnya di sekolah Katolik. Jadi, emang udah kebawa sama didikan sekolah, lebih familiar sama didikan Katolik. Jadi, kayak, yaudah, lah. Masuk aja, gitu, Katolik. Sekalian,” jelas Carolyn saat diwawancara, Kamis (02/12/2021).

       Namun, walaupun sama seperti anak-anak pada umumnya yang menganut agama berdasarkan keturunan, Muty menjelaskan bahwa faktor-faktor eksternal lainnya juga bisa memengaruhi perubahan keyakinan seseorang. Bukan hanya dari lingkungan sekitar, tetapi bisa juga dari public figure yang dijadikan contoh atau acuan oleh masyarakat. Faktor lainnya juga bisa berasal dari pasangan hidup, di mana banyak pasangan yang dengan sukarela mengubah kepercayaannya karena pernikahan. Selain itu, pengalaman hidup yang dimiliki seseorang juga bisa menjadi salah satu pengaruh besar.


Sumber: Liputan 6


       Mario dan Carolyn mengatakan bahwa secara umum, sebenarnya agama merupakan sebuah hal yang dibentuk dan dikategorikan oleh manusia sendiri, dan bukan merupakan hal yang memang sudah ada sebelum kemunculan manusia. Bagi mereka, Tuhan adalah sosok mahakuasa yang tidak dapat diketahui maupun dipastikan siapa dan sebesar apa keberadaannya. Muty menambahkan, Dia bukanlah seseorang ataupun sebuah benda. Namun, sosok Tuhan dan agama hadir untuk menjadi pegangan dan pedoman hidup para umatnya.

       “Tuhan itu yang mengatur segala sesuatunya dalam hidup manusia, dalam hidup aku. Tanpa-Nya, aku gak mungkin bisa jadi seperti ini. Setiap manusia menginginkan suatu hal. Tapi, di balik itu, bukan kuasa tangan manusia yang mengatur, melainkan tangan Tuhan. Ketika kamu berharap kepada orang lain, kepada suatu hal di lain Tuhan, semuanya niscaya sia-sia. Makanya, kita harus percaya sama Tuhan,” kata Muty ketika diwawancarai, Minggu (05/12/2021).

       Secara pribadi, Tuhan adalah sosok pemimpin dalam kehidupan Mario, dan agama adalah gambaran, patokan, serta aturan agar dirinya tidak berbuat jahat. Sejalan dengan Mario, Carolyn menuturkan bahwa agama adalah ajaran tentang hal-hal baik yang menjadi sistem dan patokan baginya agar tidak tersesat. Sosok Tuhan juga bisa menjadi tempat bercerita dan berkeluh kesah, dan Carolyn yakin bahwa setiap doa akan didengar dan dikabulkan oleh-Nya.

       Dalam kehidupan sosial, pengaruh dan keberadaan agama sering menjadi perdebatan. Agama bisa membawa dampak positif sekaligus negatif bagi masyarakat. Walaupun benar adanya bahwa agama bisa menjadi pemersatu, kita juga banyak melihat kasus di mana agama justru menjadi pemecah. Di Indonesia sendiri, keragaman agama dapat menjadi suatu hal yang positif ketika dilengkapi dengan rasa toleransi dan saling menghormati. Ini bisa menambah warna pada tanah air kita yang memiliki slogan “Bhinneka Tunggal Ika”. Namun, di sisi lain, agama juga mengategorikan orang, dan terkadang menimbulkan prasangka, stereotip, serta eksklusivisme dari satu kelompok agama ke kelompok agama lainnya.

       “Agama mengategorikan orang ke dalam suatu kategori. Jadi, membuat orang-orang itu merasa kayak, ‘Yaudah, aku stay di sini aja. Gausah keluar-luar.’ Kalo manusia terlalu nyaman di situasi itu, mereka akan either menganggap dirinya yang paling bagus dan menjatuhkan orang lain, atau menganggap hanya dia yang ada di dunia ini. Contohnya, ya, kayak misalkan kita di Indonesia aja, agama-agama minoritas selalu dipersulit. Ambil contoh aja dari agama Kristen atau Katolik. Mereka mau mendirikan gereja aja, selalu dipersulit. Kenapa? Karena gak punya kuasa dari awal. Nah, itu karena dipecah oleh agama,” jelas Mario ketika diwawancarai, Rabu (01/12/2021).

       Topik tentang agama dan kepercayaan adalah topik yang sangat sensitif untuk dibicarakan di Indonesia. Persepsi atau cara pandang setiap orang berbeda-beda dan tidak dapat disamakan. Tidak semua orang cukup terbuka akan pemikiran lain yang jauh berbeda dengan pemikirannya sendiri. Ini seringkali menimbulkan banyak gesekan yang bahkan bisa menyebabkan peperangan. Selain itu, ada juga kelompok-kelompok ekstremis yang melakukan kekerasan terhadap orang lain dengan kedok agama. Hal-hal seperti inilah yang menjadikan agama pemecah bangsa.


Sumber: arrahim.id


       Untuk mengatasi kerusakan-kerusakan tersebut, setiap umat agama memerlukan pemahaman bahwa terdapat sesuatu yang lebih penting dari agama, yaitu hubungan umat dengan Sang Pencipta itu sendiri. Dengan begitu, agama tidak akan banyak dipermasalahkan. Pemahaman terhadap inti dari agama akan membawa orang pada pluralisme, yaitu paham yang menghormati adanya perbedaan. Dalam pluralisme, kelompok-kelompok yang berbeda mempunyai kedudukan yang sama, sehingga tidak ada ketimpangan.

       Dewasa ini, praktik pluralisme sudah diterapkan di berbagai tempat, salah satu contohnya adalah di Universitas Multimedia Nusantara. Muty menceritakan pengalamannya ketika pertama kali memasuki kampus. Ia mengaku sempat kaget ketika berada dalam lingkungan yang mayoritasnya merupakan non-Muslim. Para mahasiswa sangat toleran terhadap satu sama lain, dan tidak ada pihak-pihak yang eksklusif. Itu membuatnya termotivasi untuk menerapkan hal yang sama.

       “Pertama kali aku masuk kampus, aku sempet culture shock, karena mayoritas (lingkungan aku) dari kecil sampe kelas 12 itu, Muslim semua. Ketika masuk ke sana (kampus), benar-benar harus adaptasi untuk saling toleransi. Mereka sama sekali gak ada yang membeda-bedakan satu sama lain. Itu yang membuat aku ikut menerapkan hal yang sama,” tuturnya.

       Agama seharusnya bukan menjadi patokan kita ketika berinteraksi dengan orang lain di kehidupan sosial. Menurut Carolyn, ketika cara berkomunikasi dan kepribadian seseorang selaras dengan dirinya, perbedaan agama sama sekali tidak menjadi masalah. Bahkan ketika kita menemukan pihak-pihak yang menyinggung atau menjelek-jelekkan agama yang kita anut, Mario mengingatkan untuk tidak membalas mereka dengan perilaku yang sama, melainkan berusaha memahami terlebih dahulu alasan mereka mengatakan hal tersebut. Kemauan untuk tahu dan belajar tentang orang lain juga merupakan sebuah cara untuk berkompromi serta mengatasi prasangka dan stereotip dalam diri kita.

       Berbicara tentang pluralisme tidak hanya mengenai umat beragama saja, tetapi juga kepercayaan-kepercayaan lain yang masih terselubung di Indonesia, misalnya ateisme dan agnostisisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ateisme adalah paham yang tidak mengakui adanya Tuhan, sedangkan agnostisisme adalah paham yang mempertahankan pendirian bahwa manusia itu kekurangan informasi atau kemampuan rasional untuk membuat pertimbangan tentang kebenaran tertinggi. Keberadaan orang-orang ateis dan agnostik di negara ini sebenarnya lebih banyak dari yang kita kira. Hanya saja, sebagian besar dari mereka tidak mengekspos kepercayaannya secara terang-terangan. Alys (nama samaran) dan Ven (nama samaran) merupakan contoh dari orang-orang dengan kepercayaan ateis dan agnostik.

       Walaupun terlahir di keluarga beragama Kristen, Alys merupakan seorang ateis yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Ia memiliki kepercayaan ateis karena merasa agama adalah sebuah pemaksaan sejak dirinya masih kecil. Menurutnya, akar permasalahan yang terjadi adalah perlakuan dari sekolah minggu, gereja, dan orangtuanya.

       “Dari kecil, aku emang udah dibawa ke gereja, soalnya, kalo orangtua ke gereja, kan, aku gak mungkin di rumah. Jadi, kalo orangtua ke gereja, ya, aku ikut juga ke gereja. Sebenernya, aku awalnya juga gak tau kenapa hal ini menjadi sebuah paksaan dan kenapa jadi beban. Tapi, aku mulai sadar karena dulu ada sekolah minggu waktu aku kecil, dan berdoa itu dijadikan sebuah hukuman. Jadi, waktu itu kita, kan, berdoa bareng sama anak-anak yang lain dan guru-guru sekolah minggu juga. Nah, kalau ada anak-anak yang doanya kurang keceng atau gak tutup mata, ntar dia disuruh doa sendiri di pojok, soalnya aku pernah denger kalo anak-anak yang doanya gak tutup mata, gak boleh pulang. Harus doa ekstra 10 menit di pojokan gitu.

       Nah, waktu aku denger itu, kan, aku sama adek aku berdirinya sebelahan, terus, aku ngecek adek aku doanya tutup mata atau enggak, soalnya takut, nih, pengen pulang, kan, kita. Nah, waktu aku ngecek adek aku, guru sekolah minggunya kira kalau aku gak serius doa, terus akhirnya kita berdua ditarik ke pojokan buat berdoa. Itu, kan, rasanya kayak malu sekaligus kesel gitu, kan. Siapa lu buat nge-judge kalo doa gua itu bagus atau enggak dari tutup mata dan suara kenceng? Aku tadinya gak sadar kalo itu di pandangan aku buruk. Aku mulai sadar waktu aku mulai SMP, habis aku ngerenung-ngerenung, ’Wah, ini kayaknya gak bener juga,” ceritanya dalam wawancara hari Rabu (01/12/2021).

       Namun, keluarga Alys tidak mengetahui bahwa Alys sebenarnya memiliki kepercayaan yang berbeda dengan mereka, karena Alys tidak pernah memberitahu keluarganya. Oleh sebab itu, Alys terpaksa tetap mengikuti seluruh kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh orangtuanya.

       Berbeda dengan Alys, Ven yang merupakan seorang agnostik lebih fleksibel soal agama. Ia mengaku tidak keberatan untuk bergabung dalam acara-acara keagamaan karena pengaruh kebiasaan. Baginya, agama masih menjadi sebuah penenang pikiran dan sarana untuk refleksi diri. Dia mengambil nilai-nilai moral dalam agama Kristen dan Katolik yang sekiranya baik, walaupun memang ada beberapa ajaran dalam kedua agama tersebut yang tidak ia dukung. Oleh karena itu, Ven merasa lebih cocok dengan paham agnostisisme, karena dirinya tidak terlalu peduli dengan agama, meski ia yakin akan keberadaan Tuhan.


Sumber: science20.com


       Ketika ditanya pendapatnya mengenai Tuhan dan agama secara umum, Ven melihat agama sebagai komunitas, peraturan moral, dan patokan hidup, meski baginya agama tidak terlalu penting jika orang masih bisa bertindak dengan moral yang baik, mengikuti peraturan hukum, dan menjadi teladan yang baik di masyarakat tanpa menganut agama apa pun. Sedangkan, bagi Ven, Tuhan merupakan sosok untuk menjelaskan eksistensi manusia, dan sosok peneduh yang memberikan rasa aman dan nyaman, karena manusia pada dasarnya takut akan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan. Dalam hal ini, Tuhan menjadi sesuatu yang menjelaskan pertanyaan penting di hidup kita: apa itu manusia dan kenapa manusia ada di dunia.

       Meskipun memiliki kepercayaan ateis dan agnostik, Alys dan Ven mengaku tidak melihat agama sebagai hal yang negatif, dan tidak terganggu akan keberadaan orang-orang yang beragama, asal mereka tidak melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

       “Aku sebagai seorang ateis bukan berarti aku menentang agama. Mungkin aku gak percaya sama Tuhan atau menganut ajaran agama apa pun, tapi bukan berarti aku menentang ajaran-ajaran agama. Aku masih bisa berteman dengan orang-orang yang spiritualnya kuat banget, karena aku gak memandang mereka dari agama mereka, dan menurut aku keberadaan umat agama itu sebenernya fine-fine aja. Hanya karena aku gak percaya sama agama, bukan berarti orang lain juga harus gak percaya sama agama. Keberadaan mereka tidak menggangu, selama mereka gak menentang opini aku tentang kepercayaan,” ucap Alys.

       Sehubungan dengan ini, Muty, Mario, dan Carolyn pun berbagi pendapat mereka mengenai orang-orang ateis dan agnostik. Menurut mereka, tidak ada yang salah jika seseorang memilih untuk menjadi ateis maupun agnostik. Semua itu terserah pada keputusan mereka, dan tidak menjadi sebuah masalah selama mereka masih bisa menghormati dan tidak membahayakan orang lain, karena agama tidak menentukan apakah seseorang itu baik. Begitu pula orang yang tidak beragama belum tentu merupakan orang yang jahat.

“Menurutku, itu juga sebuah kepercayaan, dan kita juga harus respect kepada orang yang menganut kepercayaan itu. Kita harus treat them as who they are, bukan treat them as what they believe in. Jadi, kita harus memperlakukan mereka, ya, sebagai manusia. Ketika mereka melakukan yang baik, ya, kita harus label mereka as orang yang baik. Ketika mereka melakukan kejahatan, kita gak boleh liat kepercayaan mereka. Kita harus liat orang ini yang melakukan kejahatan, bukan agama mereka. Jadi, pandanganku tentang ateis dan agnostik, itu juga sebuah kepercayaan yang harus mulai kita normalisasi, terima, dan respect juga,” tutur Mario.

       Sama seperti pendapat para umat beragama, keberadaan agama di kehidupan sosial Indonesia saat ini juga bisa mendatangkan hal positif dan negatif jika dilihat dari kacamata orang-orang ateis dan agnostik. Agama, menurut Ven, dapat menjadi tempat berteduh bagi orang-orang yang merasa tertekan di kehidupan. Agama juga memunculkan sebuah komunitas untuk bersosialisasi dan mendorong orang-orang yang mungkin pernah berbuat jahat ke jalan yang lebih baik. Selain itu, adanya pembatasan akan agama-agama yang diakui di Indonesia akan menjaga negara ini dari kultus sesat. Namun, di sisi lain, pembatasan terhadap pengakuan agama seakan memberikan tembok bagi umat dari agama atau kepercayaan lain yang tidak diakui keberadaannya. Sejalan dengan pendapat Mario dan Carolyn, Alys dan Ven juga berpendapat bahwa agama di Indonesia banyak menciptakan eksklusivisme yang berujung merusak kedamaian dan mendatangkan perselisihan.

       Hidup di negara berketuhanan, Alys dan Ven tentunya pernah mengalami tantangan-tantangan tersendiri dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat. Alys menceritakan bagaimana ia terkadang merasa kurang nyaman dengan celetukan-celetukan yang dikeluarkan dari pihak-pihak yang masih kurang terbuka, seperti “Lebih parah kalau ateis, sih” dan “Ateis nanti perginya ke neraka.” Ven juga menjelaskan bahwa hal-hal seperti ini sudah terjadi sejak dirinya masih kecil. Padahal, ia tinggal di kota besar, yang pada umumnya lebih memaklumi keragaman.

“Dulu, pernah ada pengalaman sama anak tetangga. Dia pernah bilang, ‘Kalo kamu gak masuk ke agamaku, nanti kamu masuk neraka, loh.’ Waktu itu aku, kan, masih kecil, sempet syok, lah, gitu. ‘Aku kan bukan orang jahat, kenapa masuk neraka?’ Waktu itu kepikiran gitu,” ucapnya.

Kisah yang dibagikan oleh teman-teman muda ini mengajarkan kita akan pentingnya keterbukaan dan pluralisme di tanah air. Hal ini tidak sekadar soal agama dan kepercayaan, tetapi merupakan hal esensial dalam kehidupan bermasyarakat untuk mendatangkan keadilan dan kedamaian. Open-mindedness atau keterbukaan pikiran bukan berarti setuju atau mendukung. Keterbukaan berarti kemampuan untuk berkompromi satu dengan yang lain soal perbedaan. Hak Asasi Manusia masih berlaku, dan kita sebagai sesama manusia hendaknya memanusiakan manusia.


Penulis: Vallerie Dominic

Popular posts from this blog

BTS dalam Mengatasi "Black Swan": Sebuah Analisis Global Entertainment Media

The Endgame: Ketika KPK Merupakan Singkatan dari Komisi Penyalahgunaan Kuasa