The Endgame: Ketika KPK Merupakan Singkatan dari Komisi Penyalahgunaan Kuasa


“The Endgame” adalah sebuah film dokumenter berdurasi 1 jam 54 menit yang diproduksi oleh Watchdoc Documentary. Watchdoc Documentary adalah audio visual production house yang didirikan pada 2009 oleh dua jurnalis, Dandhy Dwi Laksono dan Andhy Panca Kurniawan. Hingga saat ini, Watchdoc Documentary sudah memproduksi sebanyak 165 episode dokumenter, 715 feature televisi, serta 45 video, baik komersial maupun non-komersial. Melalui karya-karya yang diproduksi, Watchdoc Documentary telah meraih berbagai penghargaan, salah satunya The Gwangju Prize for Human Rights 2021 di Korea Selatan. Karya-karya mereka juga mengangkat berbagai isu, mulai dari Hak Asasi Manusia, kesetaraan gender, hukum dan politik, hingga lingkungan hidup, serta membuka pikiran publik internasional melalui masalah-masalah yang dibahasnya.

“The Endgame” berisi kesaksian dari 16 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap gagal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan terancam diberhentikan kerja. TWK sendiri merupakan syarat alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Nasional (ASN) yang juga ekor dari revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) tahun 2019. Terdapat total 75 dari 1.351 pegawai yang tidak memenuhi syarat, termasuk beberapa penyidik dan pejabat KPK yang terkenal berprestasi, seperti Novel Baswedan, Yudi Purnomo, Giri Suprapdiono, dan Harun Al-Rasyid. Dari 75 orang tersebut, 24 orang pegawai masih akan diberikan "pembinaan", sedangkan 51 orang lainnya masuk ke dalam "kategori merah" dan dianggap "tidak tertolong". Tes tersebut diduga adalah sebuah kedok oleh Ketua KPK Firli Bahuri untuk menyingkirkan beberapa penyidik KPK yang menangani kasus korupsi besar, yang akhirnya menghalangi & melemahkan KPK. Berkat penonaktifan para pegawai tersebut, penanganan terhadap kasus Harun Masiku, kasus korupsi simulator SIM di Polri, kasus korupsi dana bantuan sosial, serta korupsi benih lobster menteri Edhy Prabowo pun terhenti.

Di dalam film yang ditayangkan secara gratis di YouTube tersebut, para pegawai KPK yang dibebas-tugaskan menganggap TWK tidak relevan dan menemukan nilai-nilai diskriminatif serta kejanggalan yang tidak masuk akal. Salah satu pegawai, Benydictus Siumlala Martin Sumarno, mengatakan bahwa soal yang ia kerjakan bukan soal Tes Wawasan Kebangsaan, melainkan soal Indeks Moderasi Bernegara dari Dinas Psikologi TNI Angkatan Darat. Selain itu, pada saat sesi wawancara, dirinya sama sekali tidak menemukan adanya alat perekam, baik kamera maupun voice recorder, yang berarti percakapan tersebut tidak didata seperti seharusnya. Sejalan dengan hal tersebut, penyidik Novel Baswedan bersaksi bahwa pertanyaan-pertanyaan yang tertulis di dalam soal justru sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan kompetensi mereka sebagai petugas KPK dan malah cenderung provokatif, seperti “Apakah orang Jepang itu kejam?” dan “Apakah orang Cina semuanya sama saja?”. Ini menyebabkan tes tersebut akhirnya menjadi kontroversi di masyarakat.

Direktur Pembinaan Jaringan Kerja antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) Sujanarko menyebut proses TWK sebagai sebuah "perselingkuhan" karena ada beberapa pihak yang ikut campur di dalamnya, antara lain BAIS, BIN, BNPT, dan lain-lain. Padahal, surat formal seharusnya dipindahkan langsung dari KPK ke BKN dengan adanya pertanggung-jawaban. Pihak yang membuat soal TWK pun tidak diketahui oleh BKN dan Kemenpan-RB, begitu juga dengan pihak KPK yang mengaku tidak terlibat dalam penulisannya.

"Saya menjadi agak ragu-ragu dan timbul pertanyaan. Ini (TWK) jangan-jangan bukan untuk kepentingan orang KPK, tapi kepentingan orang luar. Kalau seperti itu, ini bagian dari pelemahan KPK," ujarnya pria yang kerap disapa Koko tersebut.

Sementara itu, puluhan petugas yang ditetapkan tidak lulus TWK telah mengajukan gugatan hukum dan juga pengaduan ke Komnas HAM.

Film dokumenter tersebut mendapat banyak perhatian publik dan menjadi contoh bagaimana jurnalis menjalankan perannya sebagai watchdog, yaitu pengawas lembaga pemerintahan dan mereka yang mempunyai kekuasaan agar tidak terjadinya penyalahgunaan. Persiapan dan pengumpulan data yang matang juga tentunya sangat diperlukan dalam proses pembuatan, mulai dari riset dari berbagai media yang kredibel, pengamatan/observasi partisipatif tentang apa yang terjadi di lapangan, serta wawancara secara langsung dengan sumber-sumber yang tentunya telah dipilih dengan berbagai pertimbangan. Semua hal ini dilakukan untuk mendapatkan fakta dari berbagai sisi sehingga menciptakan sebuah karya jurnalisme yang objektif. Dilansir Suara.com, Indra Jati selaku produser Watchdoc Documentary mengungkapkan bahwa tim produksi mewawancarai 16 narasumber dengan durasi 20 jam dan harus bekerja keras untuk memangkas footage tersebut menjadi kurang dari 2 jam. Selama proses editing, mereka selalu menerapkan quality control serta memberi perhatian terhadap hal-hal kecil, tetapi penting seperti seberapa aman data yang disuarakan, seberapa cocok narasumber yang dikutip, dan lain sebagainya, untuk mengeluarkan hasil terbaik.

       “The Endgame” tentunya menyangkut kepentingan nasional. Pengaruhnya sangat besar bagi setiap warga negara Indonesia, karena mengungkap secara tuntas bagaimana pihak-pihak yang memiliki kepentingan tersendiri berusaha menjatuhkan kinerja lembaga yang menghalangi mereka mencapai kepentingan tersebut. Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga yang mempunyai tujuan dan cita-cita yang baik jika dapat berjalan dengan semestinya. Di Indonesia sendiri, korupsi menjadi masalah yang tidak pernah terselesaikan bahkan dari hari kemerdekaan. Hal tersebut sudah lama menyengsarakan rakyat karena sebagai warga negara, mereka tidak mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan, sementara pihak-pihak yang melakukan tindak korupsi semakin makmur seiring waktu berlalu. Terlebih lagi, petugas-petugas yang berintegritas dan memiliki prinsip untuk mengutamakan rakyat harus terus menghadapi masalah dan halangan yang tidak ada habisnya. Maka dari itu, film dokumenter ini dapat memberi informasi tentang seberapa besar masalah yang sebenarnya sedang terjadi sehingga masyarakat pun dapat ikut bertindak untuk menekan pihak-pihak yang bersalah, mulai dari hal kecil seperti menandatangani petisi. Mungkin tidak akan berdampak banyak dan tidak akan langsung menyelesaikan masalah, tetapi ini memberikan harapan untuk terus melakukan perlawanan demi masa depan bangsa yang lebih baik.


Penulis: Vallerie Dominic

Popular posts from this blog

Agama dan Kepercayaan dari Kacamata Generasi Z

BTS dalam Mengatasi "Black Swan": Sebuah Analisis Global Entertainment Media