Gentingnya Obesitas sebagai Problematika Gizi di Indonesia
Tingkat obesitas di dunia melonjak pesat dalam satu dekade terakhir, menjadikan masalah gizi tersebut salah satu problematika genting yang perlu mendapatkan perhatian serius (Sudargo, Freitag, Rosiyani, & Kusumayanti, 2014, p. 1). Spesialis Gizi Klinik Dr. dr. Luciana Sutanto, M.S., Sp.GK menuturkan bahwa obesitas bisa terjadi di segala rentang usia, bahkan pada bayi. Menurut laporan World Health Organization (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia (2021), lebih dari 650 juta atau sekitar 13% orang dewasa di dunia terkena obesitas pada 2016, lebih dari 340 juta anak dan remaja usia 5-19 tahun kegemukan atau terkena obesitas pada tahun yang sama, dan lebih dari 39 juta anak di bawah lima tahun kegemukan atau terkena obesitas pada 2020. Obesitas telah mencapai epidemi secara global, dengan setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun akibat kelebihan berat badan atau obesitas (Hermawan et al, 2020).
Di Indonesia sendiri, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI dr. Cut Putri Arianie M.H.Kes. mengatakan bahwa masalah obesitas pada orang dewasa mengalami peningkatan hampir dua kali lipat, dari 19,1% pada tahun 2007 menjadi 35,4% pada 2018 (Zhafira, 2021). Sementara itu, data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) (2018) menunjukkan bahwa 10,8% anak Indonesia usia 5-12 tahun mengalami obesitas pada 2018.
Spesialis Gizi Klinik sekaligus Dosen Fakultas Gizi Universitas Tarumanagara dr. Olivia Charissa, Sp.GK membenarkan bahwa tingkat obesitas sudah berlipat ganda dalam 1-2 dekade terakhir. Ia menjelaskan bahwa obesitas sangat sering ditemui di Indonesia, terutama sejak pandemi COVID-19 yang berlangsung dari awal 2020 lalu. Bahkan, menurutnya 1 dari 4 orang Indonesia sudah terkena obesitas. Hal ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga anak-anak usia sekolah.
Menurut Septiyanti & Seniwati (2020, p. 119), obesitas adalah keadaan yang terjadi jika kuantitas jaringan lemak tubuh lebih besar dibandingkan dengan berat badan total, atau keadaan di mana terjadi penumpukan lemak tubuh yang berlebihan sehingga berat badan seseorang jauh di atas normal. Spesialis Gizi Klinik dr. Vikie Nouvrisia Anandaputri M.Gizi, Sp.GK menjelaskan bahwa secara sederhana, obesitas disebabkan oleh penumpukan massa lemak akibat asupan makanan yang melebihi kebutuhan atau kurangnya aktivitas fisik sehingga energi yang dikeluarkan lebih sedikit dari energi yang masuk.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pada prinsipnya, tubuh memang membutuhkan lemak untuk cadangan energi dan proses metabolisme, misalnya dalam pembentukan hormon. Namun, lemak berlebih yang masuk ke dalam tubuh tidak bisa lagi ditampung di tempat cadangan lemak, yaitu di bawah kulit. Ketika kapasitas tempat cadangan lemak sudah tidak mencukupi, tubuh akan mencari tempat penampungan lainnya sehingga terjadi penumpukan lemak di berbagai bagian tubuh, seperti perut, lengan, dan paha. Penumpukan lemak ini terjadi apabila asupan makanan yang kita konsumsi tidak kita gunakan dalam aktivitas fisik sehari-hari.
Hasil survei Kemenkes RI menyebutkan sekitar 29,7% perempuan dan 11,4% laki-laki tergolong obesitas (P2PTM Kemenkes RI, 2018). Olivia mengatakan bahwa kadar lemak dalam tubuh perempuan lebih tinggi dan hormon yang ada dalam tubuh wanita pun berbeda dengan laki-laki, sehingga pembentukan lemak dalam tubuh wanita cenderung lebih mudah. Selain itu, Vikie juga mengklaim terdapat perbedaan dalam pola makan perempuan dan laki-laki. Perempuan cenderung lebih senang mengkonsumsi cemilan, dan pada umumnya, aktivitas fisik mereka tidak seberat laki-laki. Tidak hanya aktivitas fisik yang tinggi, laki-laki juga mempunyai laju metabolisme yang lebih cepat dibanding perempuan.
Ada dua cara dalam mengukur apakah seseorang terkena obesitas. Obesitas dilihat dari status gizi yang dapat diukur menggunakan rumus Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI). IMT/BMI didapatkan dari berat badan dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat (CNN Indonesia, 2019). Olivia menuturkan bahwa untuk orang Asia, angka IMT/BMI yang sudah termasuk obesitas adalah lebih dari sama dengan 25. Namun, Vikie menjelaskan, berat badan juga dapat dipengaruhi oleh massa otot. Misalnya, atlet yang bobot tubuhnya besar tidak termasuk dalam orang yang obesitas, karena massa ototnya lebih besar dari lemak. Maka dari itu, perhitungan IMT/BMI tidak berlaku untuk orang-orang seperti ini.
Cara yang lebih akurat dalam mengukur obesitas adalah dengan menggunakan alat ukur komposisi tubuh (body composition analyzer). Dilansir CNN Indonesia (2019), alat ini mampu mengukur massa lemak dan tingkat hidrasi tubuh secara digital. Persentase lemak normal pada wanita adalah 25-32%, sedangkan pada pria adalah 18-25% (CNN Indonesia, 2019). Selain kedua cara tersebut, pengukuran lingkar perut juga dapat dilakukan untuk mengukur obesitas sentral, yaitu penumpukan lemak pada bagian pinggang dan rongga perut (Puspitasari, 2018, p. 250). Olivia menuturkan bahwa untuk dianggap normal, lingkar perut perempuan harus kurang dari 80 cm dan laki-laki harus kurang dari 90 cm.
Obesitas bersifat multifaktorial, terdiri dari faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak. Faktor yang tidak bisa dimodifikasi berupa jenis kelamin (perempuan memiliki kadar lemak yang lebih tinggi), umur, dan faktor genetik. Olivia mengatakan, semakin bertambahnya umur, metabolisme seseorang akan semakin lambat, sehingga akan jauh lebih sulit untuk menjaga berat badan tetap ideal dibandingkan orang yang masih muda. Genetik yang diturunkan dari orangtua juga dapat menjadi faktor obesitas, walaupun pengaruhnya tidak sebesar faktor lingkungan. Sedangkan, faktor yang bisa dimodifikasi berupa faktor lingkungan seperti makanan, aktivitas fisik, pola tidur, dan gaya hidup serta faktor sosial-ekonomi. Lebih lanjut, westernisasi pun merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi obesitas.
“Zaman sekarang ini, pola hidup masyarakat di negara berkembang, terutama Indonesia, sudah terpengaruh westernisasi. Makannya roti, berbagai macam pastry, makanan-makanan yang diproses, seperti sosis, kornet, ham,” ucap Olivia saat diwawancarai (27/05/2022). Ia berpendapat bahwa peningkatan kasus obesitas tidak luput dari adanya kemajuan teknologi. “Zaman sekarang sangat easy. Kamu tinggal tekan handphone, pesan makanan, atau bahkan sampai pesan (jasa) pembersih rumah. Kalau dulu, kita mau beli bahan makanan ke mana? Pasar. Supermarket. Butuh bergerak. Butuh jalan kaki. Zaman sekarang? Semua datang ke rumah, di depan pintu, tinggal kita ambil. Jadi, kehidupan-kehidupan yang sangat instan dan sangat dipermudah ini jelas-jelas sangat mempengaruhi terjadinya obesitas. Orang makin malas untuk kemana-mana,” lanjutnya.
Menurut Vikie, hingga sekarang, obesitas masih dianggap hanya sebagai masalah penampilan, walaupun sebenarnya obesitas sudah termasuk penyakit yang merupakan faktor resiko dari berbagai penyakit lain, terutama penyakit kronis. Keluhan yang sering muncul pada orang dewasa akibat obesitas berupa mudah atau banyak berkeringat, mudah lelah, dan nyeri sendi (Pittara, 2022). Olivia menambahkan orang yang obesitas juga memiliki kecenderungan untuk mendengkur saat tidur. Sedangkan, keluhan yang sering muncul pada anak-anak umumnya seperti penumpukan lemak di bagian payudara, sesak ketika melakukan kegiatan secara fisik, dan gangguan pubertas (Pittara, 2022).
Jika tidak segera ditangani, obesitas dapat menyebabkan beberapa masalah kesehatan serius hingga kematian, karena faktor risiko terjadinya penyakit susulan (Septiyanti & Seniwati, 2020, p. 119). Menurut Luciana, penyakit yang dapat muncul akibat obesitas meliputi masalah pencernaan, gangguan hormon-hormon reproduksi (gangguan haid pada wanita dan gangguan kesuburan pada pria), asam urat, asma, dan kanker payudara. Tidak hanya itu, Olivia mengatakan bahwa obesitas sentral juga bisa menyebabkan vertiliver (perlemakan di hati), kanker, diabetes, serangan jantung, stroke, dan tekanan darah tinggi.
“Kita boleh tau, di dalam tubuh kita, terutama di daerah perut, berbagai macam organ ada di situ. Terbayang gimana ceritanya kalo itu yang tadinya harusnya flat, harusnya dia bisa bernapas dengan baik, dia ketutupan lemak. Akhirnya dia tidak bisa bekerja. Apa yang terjadi? Kalau dia nyerangnya di daerah hati, hatinya terselimuti oleh lemak, itu biasanya kita sebut perlemakan di hati atau vertiliver. Dari vertiliver ujung-ujungnya bisa nyampe ke kanker. Kalau dia mempengaruhi kerja hormon-hormon yang ada di sekitarnya, paling sering ke mana? Jadi diabetes. Dia naik sedikit, ada pembuluh-pembuluh darah, lemaknya masuk ke dalam pembuluh darah, terjadi penyumbatan, bisa apa saja? Bisa kena serangan jantung, bisa jadi stroke, tekanan darah tinggi, bisa kemana-mana,” kata Olivia.
Selain dampak fisik, terdapat juga dampak ekonomi dari tingginya tingkat obesitas negara. Pada tahun 2014, diperkirakan bahwa dampak ekonomi global akibat obesitas mencapai 2 triliun Dolar per tahun, hampir sama dengan dampak ekonomi akibat merokok dan perang/konflik global (Kemenkes RI, 2018). Obesitas terkait dengan morbiditas dan mortalitas yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan produktivitas akibat ketidakhadiran dalam bekerja, penurunan kualitas hidup, dan kematian dini (Kelana, 2018).
Menurut Vikie, penyakit kronis yang muncul karena obesitas seperti diabetes, hipertensi, kolesterol tinggi, dan penyakit jantung bersifat jangka panjang karena sampai saat ini belum bisa disembuhkan, tetapi hanya bisa dikontrol atau dikendalikan, sehingga membutuhkan biaya perawatan yang besar. Biaya perawatan jangka panjang yang besar ini akhirnya akan memberikan beban bagi negara, terutama bagi masyarakat yang menggunakan jasa asuransi dari pemerintah. Sebuah riset yang dilakukan oleh tiga orang peneliti dari Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) menemukan bahwa total kerugian ekonomi akibat obesitas di Indonesia sebesar Rp 78,478 triliun per tahun, yaitu setara dengan 0,9% Produk Domestik Bruto Indonesia (Kelana, 2018).
Obesitas pun dapat menimbulkan dampak psikologis bagi penderitanya, seperti kurangnya rasa percaya diri, kecemasan, rasa tertekan, hingga depresi (Faradiba, 2021). Sedangkan, dampak sosial yang dapat terjadi adalah bullying dan body-shaming yang ditujukan kepada si penderita obesitas.
“Dampak sosial. Banyak yang mengeluhkan penampilannya tidak semenarik ketika dia kurus. Bahkan, beberapa pasien sampai tidak berani nimbang (berat badannya) waktu dia gemuk. Kadang-kadang, kalau keseringan di-bully, mereka juga gak mau bergaul lagi,” ucap Luciana ketika diwawancarai (30/05/2022).
Pembicaraan mengenai obesitas tidak terlepas dari pembicaraan mengenai gizi. Olivia menjelaskan, secara ideal, manusia membutuhkan macronutrient, micronutrient, dan cairan (air). Macronutrient berupa karbohidrat, protein, dan lemak. Karbohidrat contohnya nasi, kentang, bihun, mie, jagung, dll. Protein bisa dibagi menjadi dua, protein hewani seperti ayam, daging, dan telur, serta protein nabati seperti tahu, tempe, dan kacang-kacangan. Lemak sebagian besar berasal dari minyak. Micronutrient berupa vitamin dan mineral. Macronutrient dan micronutrient memiliki peranan yang sangat besar bagi tubuh, begitu juga dengan cairan. Makanan yang kita konsumsi tidak akan seimbang jika kita tidak mengkonsumsi salah satu dari mereka, sehingga membuat metabolisme tubuh kacau dan menimbulkan berbagai keluhan serta penyakit. Selain itu, jika kebutuhan cairan tidak terpenuhi, tubuh akan kesulitan dalam mengedarkan, menyerap, dan membuang zat dan mineral yang masuk.
Sumber: kesgagizioki.com
Menjaga komposisi makanan yang kita konsumsi merupakan salah satu cara untuk menghindari obesitas. Sayangnya, kebanyakan orang Indonesia sampai saat ini masih memiliki pola pikir “yang penting kenyang” dalam memilih makanan. Menanggapi hal ini, Olivia menegaskan bahwa pola pikir seperti itu adalah salah. Ia berpendapat bahwa seharusnya kita memiliki pola pikir “yang penting sehat”. Olivia juga menambahkan bahwa makanan yang sehat dan baik tidak perlu mahal dan bisa didapatkan dengan cukup mudah jika kita mau. Sejalan dengan pendapat Olivia, Luciana juga mengatakan bahwa kita harus mengetahui apa yang kita makan.
“Kalau kita makan, memang harus kenyang. Itu akan memberikan efek yang nyaman di tubuh dan perasaan bahagia. Tetapi, yang kita makan itu harus disesuaikan dengan kebutuhan kalori. Kemudian, kita makan juga harus terpenuhi semua kebutuhan gizi. Kebutuhan gizi itu kalori, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral,” ujarnya.
Masyarakat Indonesia selama ini belum diberi pengertian bahwa obesitas adalah penyakit, dan kebanyakan hanya ingin menjaga berat badan demi penampilan, sehingga mereka menganggap remeh persoalan ini selama belum menimbulkan keluhan. Padahal, Vikie menyatakan, begitu sudah menimbulkan keluhan, sudah ada organ tubuh yang bermasalah, dan berarti sudah cukup terlambat. Oleh karena itu, penting untuk mengedukasi masyarakat akan kebutuhan gizi seimbang, karena perubahan pelaku bisa diawali dari pengetahuan. Pengetahuan akan gizi seimbang akan menambah kemungkinan perubahan sikap dan perilaku masyarakat dan mengurangi masalah obesitas.
Mencegah obesitas dapat dilakukan dengan memperhatikan seberapa banyak asupan makanan atau kalori yang masuk sehari-hari dalam tubuh. Batasi juga konsumsi gula, minyak, dan garam. Olivia menjelaskan, konsumsi gula harus dibatasi sebanyak 4 sendok makan per hari, minyak sebanyak 5 sendok makan per hari, dan garam hanya sebanyak 1 sendok teh per hari. Pola tidur dan pengelolaan stress yang baik pun menjadi salah satu poin penting dalam mencegah obesitas. Pola tidur yang tidak sesuai akan membuat pengaturan tubuh yang kacau. Selain itu, kita juga harus meningkatkan aktivitas fisik, baik aktivitas sehari-hari, misalnya bekerja dan membersihkan rumah, ditambah dengan olahraga dan latihan fisik.
“Olahraga yang mudah kita lakukan apa? Jalan kaki. Jadi, kita sempatkan waktu kita untuk jalan kaki. Sebenarnya itu yang paling sederhana. Jalan kaki pun bisa kita lakukan misalnya di tempat kerja. Kita bisa menempuh (jarak) dari satu tempat ke tempat lain yang kira-kira masih bisa ditempuh dengan jalan kaki, kita lakukan dengan jalan kaki. Atau misalnya kita berpindah dari lantai satu ke lantai tiga. Kalau masih memungkinkan naik tangga, kita naik tangga. Jadi, ditambah setiap langkahnya. Ataupun kalau memang memiliki waktu lebih dan memungkinkan untuk latihan fisik/olahraga, bisa menggunakan alat atau mengikuti kelas/komunitas olahraga,” ujar Vikie ketika diwawancarai (28/05/2022).
Untuk menjaga berat badan yang ideal dan menghindari obesitas, banyak orang yang ingin melakukan diet. Namun, Olivia mengingatkan untuk tidak sembarangan melakukan program diet dan mengkonsumsi suplemen yang tidak terstandarisasi. Menurut Luciana, diet yang sudah direkomendasikan WHO untuk orang-orang yang ingin menjaga bobot tubuhnya adalah diet gizi seimbang, yaitu sehari tiga kali makan lengkap dan 2-3 kali makan selingan. Makan lengkap yang dimaksud adalah mengonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat, lauk, sayur, dan buah, dengan jumlah karbohidrat sekitar ⅓ piring, sayur ⅓ piring, lauk ⅙ piring, dan buah ⅙ piring.
Sedangkan untuk orang yang sudah terkena obesitas dan ingin menurunkan berat badan, Olivia mengatakan diet yang paling benar adalah diet restriksi kalori. Dalam diet jenis ini, kalori yang masuk harus lebih sedikit daripada yang keluar. Cara mengurangi kalori adalah dengan mengurangi porsi makanan secara perlahan dan mengubah cara memasak makanan (misalnya dari goreng menjadi bakar atau rebus). Ada juga jenis diet yang lebih ekstrim, yaitu very low calorie diet berupa restriksi kalori yang sangat rendah. Namun, dalam melakukan diet jenis ini, diperlukan panduan dokter.
Sebagai salah satu cara dalam mengatasi permasalahan obesitas, edukasi gizi pada masyarakat sangatlah penting. Hal ini berguna untuk memberikan pemahaman bagi masyarakat akan kebutuhan gizi dan perubahan perilaku makan yang sehat. Pola makan yang salah bisa menimbulkan penyakit yang merugikan tidak hanya bagi individu, tetapi juga masyarakat. Maka dari itu, demi menjaga kesejahteraan bersama, masyarakat Indonesia perlu diberikan pengetahuan akan gizi sebagai pedoman hidup yang sehat.
Penulis: Vallerie Dominic, Carolyn Nathasa D., Bonaventura Selvithia A. | Editor: Vallerie Dominic
Daftar Pustaka
CNN Indonesia. (2019, Oktober 11). 3 cara ukur obesitas. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20191011123326-255-438665/3-cara-ukur-obesitas
Faradiba, N. (2021, Agustus 7). Begini hubungan obesitas dengan kesehatan mental. Kompas. https://www.kompas.com/sains/read/2021/08/07/120600423/begini-hubungan-obesitas-dengan-kesehatan-mental?page=all
Hermawan, D., Muhani, N., Sari, N., Arisandi, S., Widodo, S., Lubis, M. Y.,...Firdaus, A. A. (2020). Mengenal Obesitas. Penerbit ANDI. https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=mY5DwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA33&dq=obesitas&ots=vPbRqnnPSf&sig=GfTwjgYhXlkpTUYlZ4Rs2fzgtKU&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false
Kelana, I. (2018). Kerugian ekonomi akibat obesitas Rp 78 triliun per tahun. Republika. https://www.republika.co.id/berita/p1z8pw374/kerugian-ekonomi-akibat-obesitas-rp-78-triliun-per-tahun#:~:text=Nilai%20ekonomi%20produktivitas%20yang%20hilang%20akibat%20ketidakhadiran%20kerja%20diestimasi%20sebesar,persen%20Produk%20Domestik%20Bruto%20Indonesia
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Epidemi obesitas. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. http://p2ptm.kemkes.go.id/uploads/N2VaaXIxZGZwWFpEL1VlRFdQQ3ZRZz09/2018/02/FactSheet_Obesitas_Kit_Informasi_Obesitas.pdf
P2PTM Kemenkes RI. (2018). 1 dari 4 penduduk dewasa mengalami obesitas. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. http://p2ptm.kemkes.go.id/artikel-sehat/1-dari-4-penduduk-dewasa-mengalami-obesitas
Pittara (Ed.). (2022, Januari 10). Obesitas. Alodokter. https://www.alodokter.com/obesitas
Puspitasari, N. (2018). Kejadian obesitas sentral pada usia dewasa. HIGEIA: Journal of Public Health Research and Development, 2(2), 249-259. https://doi.org/10.15294/higeia.v2i2.21112
Septiyanti & Seniwati. (2020). Obesitas dan obesitas sentral pada masyarakat usia dewasa di daerah perkotaan Indonesia. Jurnal Ilmiah Kesehatan (JIKA), 2(3), 118-127. http://dx.doi.org/10.36590/jika.v2i3.74
Sudargo, T., Freitag, H., Rosiyani, F., & Kusumayanti, N. A. (2014). Pola makan dan obesitas. Gadjah Mada University Press. https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=kNBWDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PR1&dq=obesitas&ots=cu__zAs2fs&sig=XmQoTmARKXs7oGijhQG50q27UhU&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false
World Health Organization. (2021). Obesity and overweight. World Health Organization. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/obesity-and-overweight
Zhafira, A. N. (2021, Maret 4). Kemenkes: Obesitas di Indonesia kian meningkat. ANTARA. https://www.antaranews.com/berita/2026173/kemenkes-obesitas-di-indonesia-kian-meningkat